Latar Belakang
Arca pralingga barong dan rangda merupakan simbol perwujudan manifestasi Tuhan dalam tradisi orang Bali. Secara tradisi pembuatan arcanam barong dan rangda diterima melalui pawisik niskala dan tuntunan yang diterima secara sakral dari “sesuhunan” yang diyakini sebagai penjaga dan pengayom suatu wilayah atau desa di Bali.
Adnyana tidak menyangka dirinya akan menjadi media untuk mewujudkan arcanam barong dan rangda dari kayu kamboja yang sudah memfosil dan berumur ratusan tahun. Berawal dari mimpi dan kejadian mistis yang sering diterima, Adnyana sempat ragu karena dirinya merasa bukan siapa-siapa dan bukan orang suci yang sepantasnya melakukan tugas membuat arca pralingga ini. Berulang kali Adnyana menghindar untuk tidak menghiraukan tugas ini sampai akhirnya suatu saat ia harus menyerah.
Dalam kehidupan Adnyana yakin Ida sesuhunan melalui cara beliau memberikan tuntunan dan bahkan peringatan dengan berbagai bentuk. Ia bersama istri sering bermimpi ngayah di Pura Gunung Sari dan diminta untuk menyusun kayu kamboja yang sudah dipotong-potong dan ada beberapa dahanya ditanam kembali. Apalagi menjelang rerahinan seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem Adnyana dan Istri sering terganggu dengan hadirnya Barong dan Rangda dalam mimpi membuat pasangan ini sulit tidur karena takut. Beberpa kali pernah sekeluarga sakit demam dan dalam mimpi katanya bisa minta tirta di pura agar bisa sembuh. Adnyana mencoba nunas tirta di Pura Gunung Sari kemudian membawanya ke rumah kemudian diberikan kepada semua anggota keluarga yang sedang sakit. Keesokan harinya semuanya kembali sehat. Adnyana merasa takut dan tidak mau kehidupannya yang pernah kelam karena kehilangan orang yang dicintai terulang kembali. Ia mengambil keputusan untuk mengikuti pawisik yang diterima dan menjalankan sesuai tuntunan yang diberikan melalui mimpi maupun secara spritual oleh Ida Sesuhunan.
Pencarian Kayu
Atas dasar petunjuk niskala Adnyana mengumpulkan baberapa orang untuk mulai mencari potongan pohon kamboja disepanjang sungai dibawah pura Gunung Sari yang terkenal angker. Sebelum rebah dan dipotong-potong kayu tersebut cukup tinggi dan berdiameter lebih dari 100cm. Kata para penglingsir kumpi, pohon kamboja tersebut sudah sebesar itu saat mereka dimasa kecil. Kemudian sekitar 11 tahun yang lalu, karena usia pohon tersebut rebah sendiri. Oleh krama subak kemudian kayu tersebut dipotong-potong dan dibuang ke sungai disebelah pura tersebut. Ada beberapa masyarakat yang mengambil untuk dijadikan tapel topeng, barong dan ragda yang disakralkan sampai saat ini.
Dari diameternya pohon kamboja tersebut umurnya diperkirakan lebih dari 300 tahun dan kondisi kayunya hampir memfosil, keras seperti batu. Apalagi potongan yang ditemukan oleh Adnyana disungai berada di kubangan dan diperkirakan sudah terendam air selama 11 tahun sejak potongan kayu tersebut dibuang oleh krama subak. Saat ditemukan masih dalam kondisi glondongan dan sulit untuk di angkat karena cukup berat, kemudian dipotong sesuai peruntukan dengan ukuran tertentu sehingga lebih mudah dibawa naik. Proses pengambilan kayu dibarengi dengan ritual sederhana yang diyakini sebagai sarana memohon izin dan sebagai ucapan terima kasih kepada mahluk astral yang menjaga kayu tersebut.
Bertepatan dengan bulan Purnama kayu tersebut dibawa ke pura Tirta Empul untuk disucikan di mata air dengan sarana ritual sederhana. Setelah ritual tersebut berselang 2 bulan Adnyana memohon petunjuk dimana mencari Sangging yang akan menyelesaikan arcanam tersebut. Dalam hati Adnyana berpikir juga dimana akan mendapatkan biaya pembuatan arcanam yang nilainya diperkirakan cukup mahal. Sedangkan secara ekonomi Adnyana masih pas-pasan dan rasanya sulit membayar total biaya pembuatan arcanam tersebut. Disisi yang lain Adnyana merasa yakin apabila tugas ini adalah kehendak beliau Ida Sesuhunan segala sesuatunya pasti sudah dipersiapkan dan segala sesuatu pasti ada solusi. Sejak saat itu ia yakin dan tetap akan berjalan sambil berusaha sesuai kemampuan.
Pemilihan Sangging Pembuat Arcanam
Sejak Adnyana memulai niatnya membuat arcanam belum ada gambaran dimana ia akan menemukan sangging pembuat tapel barong dan rangda. Ketika suatu saat ia diberikan petunjuk untuk bertemu dengan A.A Gede Rai Wija Suadnyana di puri Benawah, Petak Kelod, Gianyar, Bali. Adnyana menceritakan pertemuannya yang ternyata sudah ditunggu-tunggu oleh Gung Aji Rai panggilan sang sangging. Sejak seminggu sudah memperoleh petunjuk akan ada seseorang datang untuk bertemu beliau dengan misi yang sangat penting. Saat pertemuan pertama kali di kediaman Gung Aji Rai suara cicak tak henti-henti seperti membawakan pesan khusus. Dengan sarana Pejati Gung Aji Rai memohon kepada Sang Hyang Taksu dan Ida Sesuhunan memberikan petunjuk agar secara niskala disaksikan juga pertemuan ini adalah kehendak Ida Sesuhunan.
Setelah disepakati Adnyana membawa kayu kamboja yang diperoleh dari Pura Gunung Sari tersebut ke tempat Gung Aji Rai. Dengan sarana ritual segeh agung dan banten sederhana proses pembuatan arcanam akan dimulai sejak saat itu. Sedikit demi sedikit Gung Aji Rai mulai mengerjakan tapel rangda dan barong sesuai petunjuk yang diterima. Saat pengerjaan tapel tersebut selalu disertai banten dan ritual sederhana, karena proses pemahatan kayu yang keras itu tidak bisa dilakukan sebelum melaksanakan ritual kata Gung Aji Rai. Bahkan pahat yang digunakan banyak yang patah dan mesin chinso beberapa kali putus. Beliau menceritakan apabila tugas ini bukan petunjuk niskala beliau sudah menyerah. Berbekal keyakinan dan semangat yang gigih Gung Aji akhirnya menyelesaikan tapel tersebut setelah 2 tahun. Gung Aji Rai memerlukan waktu yang cukup lama karena pengerjaan tapel tersebut hanya dikerjakan saat ada mood dan hari-hari tertentu.
Sekilas tentang Gung Aji Rai, beliau adalah seniman khusus arca pralingga yang sudah terkenal di Bali. Taksu yang dimiliki adalah turunan dari ayahand beliau A.A Anom Ketig yang tersohor dengan karya seni lukis, seni tari dan seni ukir tapel, arca dan lain sebagainya. Mengikuti jejak ayahanda Gung Aji Rai sangat terkenal dengan karya-karya beliau yang jumlahnya ratusan disungsung di berbagai daerah di Bali, diantaranya: Arcanam di pura Dalem Balingkang, Sala Bangli, Manuk, Madangan, Petak Kaja, Kintamani, dll. Selain itu beliau adalah penari topeng, penulis lontar prasasti, pelukis dan saat ini beliau menjadi mahasiswa IHDN Denpasar memperdalam ilmu agama dan spiritual.
Pemilihan Warna Cat
Dalam menyelesaikan proses pengecatan dan finishing Gung Aji Rai dibantu oleh istri dan putra beliau A.A Gede Dipa Prabawa. Proses pengecatan ini cukup rumit dan harus menggunakan rasa dan intuisi dalam, karena taksu dan wibawa tapel akan ditentukan dari goresan cat tersebut. Jenis Cat yang digunakan adalah Cat membrant, import dari Germany khusus untuk cuaca di daerah dingin dan anti air.
Pemilihan Accessories Arcanam
Untuk menyelesaikan proses pembuatan tapel rangda dan barong ini diperlukan beberapa aksesoris seperti batu permata, perak, prada, rambut, dll. Adnyana ikut terjun langsung membeli dan memesan berbagai jenis aksesoris arcanam tersebut mendampingi Gung Aji Rai. Batu Permata dibeli dari sebuah toko di daerah Celuk Sukawati Gianyar, Perak dibuat di Guwang Sukawati, Sekartaji, Lidah, Api-apian, Rambut dan aksesoris lainnya dibeli dari seorang seniman di desa Puaya, Sukawati, Gianyar.
Ada cerita menarik ketika mencocokan Sekartaji yang akan dipasang di tapel barong, karena setelah mencoba puluhan design tidak ada satupun yang cocok. Sampai akhirnya diambilkan dari merajan sangging namanya Pak Pica, yang dibuat pada zaman dahulu oleh kakeknya. Setelah dipasangkan ternyata pas dengan ukuran tapel. Sekartaji itu sudah dipersiapkan sejak puluhan tahun untuk bertemu dengan pasanganya yang tepat. Adnyana terheran-heran dengan kejadian itu dan semakin memperkuat keyakinanya bahwa niatnya disambut baik oleh alam semesta. Tak hanya itu, rambut kuda putih yang cukup langka tiba-tiba ada yang membawakan dari Sumbawa yang nantinya dipasangkan pada tapel rangda.
Adnyana dengan tulus ikhlas menghaturkan tapel rangda dan barong ini kepada Desa Adat Padpadan. Upaya bertemu dengan perangkat desa adat dari bendesa, kelihan, pemangku dan penyarikan sudah dilaksanakan pada tanggal 12 Juni 2019. Hingga pada tanggal 22 Juni 2019 Adnyana diberikan waktu presentasi dihadapan krama Desa Adat Padpadan dan menyampaikan secara langsung latar belakang, niat dan tujuan menghaturkan tapel rangda dan barong tersebut. Dalam kesempatan tersebut krama Desa Adat minta waktu untuk berpikir, menimbang, dan menanyakan secara niskala sebelum diterima. Adnyana berharap krama desa adat mendapatkan tuntunan untuk menjadikan arcanam ini sebagai tempat roh suci Ida Sesuhunan Padpadan suatu saat nanti. Adnyana mengatakan bahan ini sangat langka dan unik yang muncul dari tanah suci Padpadan bahkan diyakini usianya ratusan tahun, aura sakralnya sangat terasa dan semoga bermanfaat membangun kesadaran masyarakat dan melindungi masyarakat dari kekuatan negatif dimasa yang akan datang.
Dibawah ini adalah beberapa dokumentasi yang sempat diambil dari awal hingga selesainya proses pembuatan arcanam tapel rangda dan barong.